2.04.2012

Bapepam : Broker Wajib Buka Subrekening untuk Nasabah

.
13 komentar

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengimbau pelaku pasar wajib membuka subrekening dana atas nama nasabah.

"Perusahaan efek yang telah memiliki izin usaha sebagai perantara pedagang efek wajib menyesuaikan ketentuan dalam peraturan nomor V.D.3.

Lampiran keputusan dimaksudkan termasuk untuk memperbaharui kontrak pembukaan rekening efek nasabah yang telah ada dengan ketentuan," ujar Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek M Noor rachman dalam keterangan tertulisnya seperti dilansir dari situs Bapepam-LK di Jakarta, Selasa (3/1/2012).
Ditambahkannya, pembukaan dana masing-masing nasabah yang telah ada, pembuatan atau pencantuman nomor tunggal identitas nasabah paling lambat 31 Januari 2012. Dirinya mengatakan, transaksi efek untuk kepentingan nasabah tdak dapat dilaksanakan sebelum rekening efek dibuka atas nama nasabah yang bersangkutan.

"Kecuali membeli dan menual produk investasi yang dikelola oleh manajer investasi yang tidak tercatat di bursa efek, memesan efek dalam rangka penawaran umum sebelum nasabah mendapatkan penjatahan efek dan membeli atau menjual efek untuk kepentingan perusahaan efek lain," ungkapnya.

Noor menegaskan, pembukaan rekening atas nama nasabah memiliki dampak pada pelaporan modal kerja bersih disesuaikan perusahaan efek anggota bursa. "Yaitu apabila perusahaan efek tidak menempatkan dana bebas milik nasabah pada rekening dana atas nama nasabah yang bersangkutan," tegasnya.

Lebih lanjut Noor menambahkan kewajiban pembukaan rekening dana tersebut paling lambat 31 Januari 2012.

"Apabila hingga tanggal tersebut nasabah belum membuka rekening dana, maka pada 1 Februari 2012. perusahaan efek tidak dapat melaksanakan transaksi efek atas nama nasabah yang bersangkutan dan dapat mempengaruhi nilai MKDB perusahaan efek," pungkasnya.

Sumber : okezone

Baca selengkapnya ...»»

8.29.2011

Selamat Idul Fitri 1432 H

.
9 komentar


Kata telah terucap, tangan telah tergerak, prasangka telah terungkap
Tiada kata, Kecuali “saling maaf” jalin ukhuwah & kasih sayang raih indahnya kemenangan hakiki
Selamat Hari Raya Idul Fitri

Baca selengkapnya ...»»

8.17.2011

HUT Kemerdekaan RI ke 66

.
1 komentar

Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke 66

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang lebih bermanfaat.
Dirgahayu tanah airku ... INDONESIA

Baca selengkapnya ...»»

8.10.2011

Ketika Pangan Mahal . . .

.
1 komentar

Di Indonesia, bahkan ketika bulan puasa belum mulai, harga pangan terus merangkak naik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan perintah untuk menjamin ketersediaan pangan di seluruh pelosok Tanah Air dengan harga terjangkau, dengan cara apapun, termasuk melalui program bantuan beras, operasi pasar, peningkatan produksi pangan, perlindungan harga jual gabah, penyaluran pupuk dan benih, serta peningkatan cadangan di Bulog (18/7)
Apakah ini akan efektif? Bila impor adalah cara yang dipilih untuk meningkatkan stok, seharusnya ini merupakan solusi sementara saja. Sudah tak bisa ditawar lagi, dalam jangka panjang wajib ada strategi agar kondisi pangan kita tidak semata ditentukan oleh pasar.

Dibutuhkan upaya sistematis membenahi kebijakan pangan di dalam negeri. Alasannya sebagai berikut: Di tingkat global, politisi di seluruh dunia kini sadar betul nilai strategis isu ketahanan pangan dan perlindungan bagi petani. Di negara maju, sekira separuh gaji dihabiskan untuk makan.

Di negara berkembang seperti Asia dan Afrika, hingga 80 persen gaji dibelikan makanan. Karena itu, negara lain pun mulai gamang bila pangan sampai dianggap terlalu mahal oleh warganya. Pada 2011 ini stok biji-bijian dikabarkan International Grains Council akan mengalami sedikit peningkatan, tapi tak akan cukup untuk jangka lebih panjang.

Secara psikologis, ada kekhawatiran yang besar terhadap kecukupan stok. Dalam negosiasi Putaran Doha, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) bahkan menolak sama sekali diskusi seputar pemotongan subsidi ekspor produk pangan. Bagi AS, peningkatan ekspor adalah tambahan pekerjaan bagi warga AS.

Mengingat bahwa negosiasi Putaran Doha sudah berjalan 10 tahun, pantang bagi politisi yang di dalam negerinya juga sedang saling bersitegang, untuk menyerah di forum itu. Di sisi lain, Susan Schwab (2011) dalam Foreign Affairs menunjuk bahwa negara ekonomi baru seperti China, India dengan lihainya memanfaatkan aturan main Putaran Doha yang usang.

Dalam aturan itu, negara ekonomi baru masih tergolong negara berkembang dan karena itu mereka memosisikan diri dengan komitmen lebih ringan daripada negara maju. Akibatnya yang berlaku sekarang masih Paket 2008, di mana sejumlah pengecualian melahirkan biaya tinggi untuk impor.

China misalnya menerapkan tarif tinggi untuk impor jagung, kapas, gula, beras dan gandum. India mempertahankan 90 persen tarif perdagangan produk pertaniannya. Artinya, pangan memang langka dan berpotensi makin langka. Negara-negara maju melindungi para petaninya melalui subsidi sampai tak ada ruang negosiasi setitik pun bagi petani negara lain untuk bisa bersaing dengan adil.

Sementara Filipina, Vietnam, dan Thailand yang biasanya bisa diandalkan Indonesia untuk tambahan stok, bertekad memenuhi kebutuhannya sendiri dahulu sebelum mengekspor ke negara lain. Kehati-hatian yang satu diikuti kehati-hatian yang lain. Satu per satu negara mulai menutup diri dengan bicara atas nama ketahanan pangan.

Global Trade Alert mencatat makin tingginya tingkat proteksi perdagangan di seluruh dunia, khususnya di negaranegara maju dan ekonomi baru seperti Brasil, Rusia, India, China. Sepertiga proteksi di dunia dilakukan di keempat negara ini. Pada kuartal pertama 2011, ada 84 mekanisme proteksi baru yang diterapkan di seluruh dunia (tadinya ada 85 di akhir 2010), dan pada kuartal kedua 2011 ditemukan 50 lagi.

Indonesia tercatat punya 48 mekanisme proteksi, China 68, India 91, AS 90, Rusia 122, dan Brasil 75. Jadi, sementara ini negosiasi di tingkat internasional akan diwarnai kehati-hatian yang luar biasa. Stok tambahan dari luar negeri relatif terbatas dan mahal. Ironisnya, di tataran domestik, penyelesaian masalah harga pangan yang tinggi seperti berjalan di tempat.

Padahal, mengatasi harga pangan tak bisa semata dengan negosiasi internasional atau kawasan. Di dalam negeri sendiri harus terpadu langkahnya menuju reformasi kebijakan pangan. Sejumlah hal berikut belum tertangani. Peter Timmer (2004) menunjukkan bahwa produksi akan sulit ditingkatkan dalam jumlah signifikan, karena tak ada temuan baru di bidang teknologi pertanian.

Selain itu, lahan pertanian makin sempit dan sebenarnya sulit memberi insentif pada petani karena insentif mereka berarti pula kerugian bagi konsumen.Maklum, konsumennya pun masih tergolong sama tidak mampunya dengan petani. Di lain pihak, sejumlah negara mengambil strategi sewa lahan di luar negeri untuk menanam produk pertanian dan hasilnya bulat-bulat dibawa kembali ke tanah airnya.

China disinyalir sudah melakukan ini di Indonesia, dengan skema sewa lahan di Papua bernilai USD1 juta. China juga melakukan hal sama di kawasan Afrika dan Amerika Latin, India, Arab Saudi, Kuwait, Australia juga melakukan hal serupa. Yang payah justru bahwa Indonesia membiarkan sistem sewa lahan dan angkut hasil tadi dimulai di sini.

Padahal di sisi lain, ada target yang ditetapkan di 2010 untuk memperluas lahan pertanian hingga 670 ribu hektare (ha) pada 2014. Apa artinya pembebasan lahan itu jika akhirnya justru menguntungkan pihak asing?

Apakah elok bila menyewakan lahan bulat-bulat kepada asing, sementara di dalam negeri sendiri kebutuhan minus dan di luar negeri pasokan makin langka? Lalu, apakah realistis mendorong perluasan lahan pertanian tapi basis petani dan instrumen pendukung pertanian modern justru belum digarap?

Susutnya lahan pertanian juga didorong oleh perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Di Sulawesi Selatan misalnya, Walhi mencatat konversi lahan pangan tiap tahun mencapai delapan persen, sementara areal pertanian baru melalui program cetak sawah hanya sekira lima persen per tahun.

Prof Dr Wayan Windia dari Universitas Udayana Bali menyoroti problem sistem pajak bumi dan bangunan yang secara sistematis mendorong petani untuk menjual tanahnya, karena pajak semakin tinggi, sementara penghasilan mereka tak menentu.

Dari aspek lingkungan hidup, kita belum bicara tentang desakan global untuk ramah terhadap bumi dan pekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Ketika tren mengarah pada promosi bahan bakar biofuel, kecenderungan kita sekadar mengekor, padahal proyek itu butuh pasokan pangan besar untuk dijadikan bahan bakar.

Demikian pula menghadapi kampanye green jobs dari negara maju, kita justru belum memayungi pekerja di sektor pertanian dan kehutanan. Jadi bicara pangan, kita harus makin realistis dan berperspektif jangka panjang.

DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

Sumber : okezone

Baca selengkapnya ...»»